TELA'AH MASALAH DEMI MASLAHAH

AGAR KEBENARAN TAK SEMU DI HATI

Penetapan Shifat ‘Uluw Dan Istiwa’ Allah Ta’ala

Posted by Fayyadh Albandy on 13 July 2010

Oleh: Fayyadh Albandy

Merupakan bagian dari kesempurnaan aqidah seorang Muslim adalah mempercayai dan mengimani apa-apa yang diturunkan Allah I dan dijelaskan oleh Rasulullah r di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Salah satu perkara pokok dalam masalah aqidah islam yang telah menjadi kontroversial sejak dulu hingga sekarang adalah sifat ‘Uluw dan Istiwa’ Allah I. Mulai dari kelompok Jahmiyah di zaman dulu, sampai kelompok-kelompok lain zaman sekarang yang tak jauh beda keyakinan mereka dalam mengingkari sifat Allah I ini.  Maka dalam kesempatan ini akan kita bahas sekilas tentang masalah ini.

I. Definisi ‘Uluw, Istiwa’ dan ‘Arsy

A. ‘Uluw

Secara bahasa kata ‘Uluw ( عُلُوّ ) berasal dari kata علا, أي علو كل شيء و علوه, أي أرفعه . Yang artinya meninggikan atau menaikkan sesuatu. Dan ‘uluw berarti yang tinggi.[1]

Sedangkan secara istilah syar’I, ‘Uluw terdiri dari tiga segi, yaitu:[2]

  1. ‘Uluw ad-Dzat : yaitu, ‘Uluw (Ketinggian) Dzat Allah I atas segala makhluk-Nya, dan sifat ini bersifat umum. Juga sifat ‘Uluw Allah I, yaitu Istiwa’-Nya Allah I di atas ‘Arsy-Nya, dan ini secara khusus. Dan inilah istilah yang dimaksudkan disini.
  2. ‘Uluw al-Qadr wa al-Manzilah : yaitu, Allah I Yang Maha Mempunyai Kemampuan atas segala sesuatu, dan mempunyai kedudukan yang Maha Tinnggi atas segala sesuatu yang tidak ada satu makhluk pun yang dapat menyamai-Nya.
  3. ‘Uluw al-Qahr : yaitu, Allah I Yang Maha Kuasa atas sekalian hamba-Nya dan Makhluk-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang ada di langit dan bumi ini, melainkan dengan Kuasa-Nya. Sebagaimana firman-Nya,

سُبْحَانَهُ هُوَ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ

“Maha Suci Allah. Dialah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan” (QS. Az-Zumar: 4)

B. Istiwa’

Secara bahasa, Istiwa’ berasal dari kata Istawa ( استوى ), yang memiliki empat arti yang kesemuanya bersumber dari salaf, yaitu: علا, و ارتفع, و صعد, و استقر . Dan keempat arti ini memiliki satu makna yaitu naik/menuju ke atas. Kecuali استقر yang merupakan tambahan yang artinya menetap di atas.[3]

Sedangkan secara istilah dalam tafsiran kata Istawa yang terdapat di dalam Al-Qur’an, sebagaimana riwayat dari Abu al-‘Aliyah ar-Royahiy dan Mujahid bin Jubair dalam menafsiri lafadz  ( إستوى ). Yaitu : ( علا و ارتفع ) “tinggi dan naik”.[4]

Dan Allah I mempunyai sifat Istiwa’. Allah I beristiwa’ di atas ‘Arsy-Nya setelah menciptakan langit dan bumi ini. Sebagaimana yang ditegaskan dalam firman-Nya,

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Al-A’raf: 54, Yunus: 3)

Akan tetapi bukan berarti sebelum Allah I beristiwa’ di atas ‘Arsy-Nya sebelum diciptakan seluruh makhluk Allah tidak Maha Tinggi. Allah adalah Dzat Yang Maha tinggi sebelum dan sesudah diciptakannya makhluk.[5]

C. ‘Arsy.

Pengertian ‘Arsy secara bahasa adalah : singgasana raja. Sebagaimana firman Allah I,

وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ

“…serta mempunyai singgasana yang besar”. (QS. An-Naml: 23)

وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ

“Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana”. (QS. Yusuf: 100)

Sedangkan pengertian ‘Arsy Allah I yang Dia beristiwa’ di atasnya adalah: Singgasana yang sangat agung yang mempunyai penyangga-penyangga. ‘Arsy juga sebagai atap dari surga firdaus, bahkan atap seluruh makhluk. ‘Arsy adalah tempat yang paling tinggi, paling luas, paling besar, dan yang tidak ada yang mengetahui kadarnya secara pasti kecuali Allah I.[6] ‘Arsy ibarat kubah bagi alam semesta yang Allah memerintahkan sebagian malaikat untuk menjunjung ‘Arsy-Nya. Sebagaimana firman Allah I,

وَالْمَلَكُ عَلَى أَرْجَائِهَا وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ

“Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung ‘Arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka.” (QS. Al-Haqqoh: 17)

D. Perbedaan antara ‘Uluw dan Istiwa’.

Perbedaan antara dua sifat ini terdiri dari tiga segi, yaitu :

  1. ‘Uluw adalah sifat Allah I yang berarti Maha Tinggi di atas seluruh makhluk-Nya secara umum dan keseluruhan. Sedangkan Istiwa’ adalah sifat khusus Allah I, yaitu Allah beristiwa’ di atas Arsy-Nya.
  2. ‘Uluw adalah sifat dzatiyah. Sedangkan Istiwa’ adalah sifat fi’liyah ikhtiyariyah. Yaitu Allah berkehendak mengerjakannya sesuai kehendak-Nya.
  3. ‘Uluw adalah sifat Allah yang ditunjukkan oleh dalil-dalil naqli dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan juga dapat dicerna oleh akal dan fitrah manusia. Sedangkan Istiwa’ adalah sifat Allah I yang dijelaskan hanya oleh dalil naqli, yaitu wahyu dari Allah I, baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

II. Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Allah I berada di atas.

Sangat banyak dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sahihah yang menunjukkan bahwa Allah berada di atas ‘Arsy, di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya. Demikian banyaknya dalil itu sehingga tidak terhitung jumlahnya. Imam al-Alusi menjelaskan di dalam tafsirnya, “Dan engkau mengetahui bahwa mazhab Salaf menetapkan ketinggian Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan oleh Imam At-Thahawi dan yang selainnya, mereka berdalil dengan sekitar 1000 dalil”.[7]

Karena demikian banyaknya dalil tersebut, tidak mungkin dapat dikemukakan semua. Pada tulisan ini hanya sedikit dalil yang dapat dikemukakan. Kami kutipkan beberapa yang diambil dari kitab Al-Intishor[8], serta beberapa keterangan dari kitab-kitab lain.

  • Dalil-dalil dari Al-Qur’an.

Dalil-dalil tentang ketinggian Dzat Allah di atas ‘Arsy, di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya terbagi dalam berbagai sudut pendalilan. Pada tiap sudut pendalilan terdapat banyak dalil. Sudut-sudut pendalilan tersebut di antaranya:

Penjelasan tentang Ketinggian (al-‘Uluw) Allah I secara mutlak di atas makhluk-Nya. Sebagaimana firman-Nya:

وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

“Dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung” (QS. Al-Baqarah: 255)

وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

“Dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS. Saba’: 28)

Penjelasan tentang Ketinggian (al-Fauqiyyah) Allah I di atas seluruh makhluk-Nya. Sebagaimana firman-Nya:

يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” (QS. An-Nahl: 50)

وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِه

“Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-An’am: 18)

Penjelasan bahwa Allah I berada di atas langit. Sebagaimana firman-Nya:

أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS. Al-Mulk: 16)

Perlu dipahami dalam bahasa Arab bahwa lafadz في tidak hanya berarti di ‘dalam’, tapi juga bisa bermakna ‘di atas’. Hal ini sebagaimana penggunaan lafadz tersebut dalam ayat:

فَسِيحُوا فِي الْأَرْضِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ

“Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di atas bumi selama empat bulan…”(QS.  At-Taubah: 2)

Penjelasan bahwa Al-Qur’an ‘diturunkan’ dari Allah I. Ini jelas menunjukkan bahwa Allah I berada di atas, sehingga Dia menyebutkan bahwa Al-Qur’an diturunkan dari-Nya. Dan tidaklah diucapkan kata ‘diturunkan’ kecuali berasal dari yang di atas.

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an, di antaranya:

تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ

“Kitab (Al-Quran ini) diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Az-Zumar: 1).

تَنْزِيلٌ مِنَ الرَّحْمَانِ الرَّحِيمِ

“(AlQur’an) diturunkan dari Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Fusshilaat: 2)

تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

“(Al Qur’an) diturunkan dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji” (QS. Fusshilat: 42).

Penjelasan tentang adanya sesuatu yang naik menuju Allah I. Lafaz ‘naik’ yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan al-Hadits bisa berupa al-‘Uruuj atau as-Shu’uud. Sebagaimana firman-Nya:

مِنَ اللَّهِ ذِي الْمَعَارِجِ * تَعْرُجُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ

(yang datang) dari Allah, Yang mempunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada-Nya(QS. Al-Ma’aarij: 3-4)

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

“Kepada-Nyalah naik ucapan yang baik dan amal soleh dinaikkannya” (QS. Fathir: 10)

Penjelasan bahwa Allah I ber-istiwa’ di atas ‘Arsy. Lafaz istiwa’ diikuti dengan penghubung على sehingga bermakna ‘tinggi di atas’ ‘Arsy. Sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Qur’an di 7 tempat. Di antaranya yaitu:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy” (QS. Thoha: 5)

هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy” (QS. Al-Hadid: 4)

  • Dalil-dalil dari As-Sunnah

Ketinggian Allah I di atas langit juga ditegaskan dalam banyak sekali hadits Nabi Muhammad r dengan beberapa versi, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir (persetujuan). Seperti sabda Nabi r:

إِنَّ اللهَ لَمَّا قَضَى الْخَلْقَ كَتَبَ عِنْدَهُ فَوْقَ عَرْشِهِ إِنَّ رَحْمَتِيْ سَبَقَتْ غَضَبِي

Sesungguhnya Allah tatkala menetapkan penciptaan, Dia menulis di sisi-Nya di atas ‘arsy: “Rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku.”[9]

Dan juga sabda Nabi r :

أَلاَ تَأْمَنُوْنِيْ وَأَنَا أَمِيْنُ مَنْ فيِ السَّمَاءِ

Tidakkah kalian mempercayaiku padahal aku dipercaya oleh Dzat yang di atas langit.[10]

Dan telah tetap pula bahwa Nabi r mengangkat tangannyake atas langit pada saat khutbah di Arafah ketika mereka mengatakan,

“Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan dan menunaikan serta menasehati.” Di saat itu beliau r menjawab, “Ya Allah saksikanlah.”[11]

Rasulullah r juga telah menetapkan sifat ini untuk Allah dalam beberapa hadits, diantaranya:

Hadits Abu Hurairah t bahwa Nabi r memegang tangannya (Abu Hurairah) dan berkata:

يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، إِنَّ اللهَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرَضِيْنَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ، ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya Allah menciptakan langit dan bumi serta apa-apa yang ada diantara keduanya dalam enam hari, kemudian Dia berada di atas ‘Arsy (singgasana).”[12]

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ رضي الله عنه قَالَ: …وَكَانَتْ لِيْ جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ, فَإِذَا بِالذِّئْبِ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا, وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِيْ آدَمَ, آسَفُ كَمَا يَأْسَفُوْنَ, لَكِنِّيْ صَكَكْتُهَا صَكَّةً, فَأَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم عليه و سلم فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ, قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ, أَفَلاَ أُعْتِقُهَا؟ قَالَ: ائْتِنِيْ بِهَا, فَقَالَ لَهَا: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِيْ السَّمَاءِ, قَالَ: مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ: أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ, قَالَ: فَأَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ

Dari Muawiyah bin Hakam As-Sulami -radhiyallahu ‘anhu- berkata: “…Saya memiliki seorang budak wanita yang bekerja sebagai pengembala kambing di gunung Uhud dan Al-Jawwaniyyah (tempat dekat gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki seekor serigala telah memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari bani Adam, saya juga marah sebagaimana mereka juga marah, sehingga saya menamparnya, kemudian saya datang pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata beliau menganggap besar masalah itu. Saya berkata: “Wahai Rasulullah, apakah saya merdekakan budak itu?” Jawab beliau: “Bawalah budak itu padaku”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Dimana Allah?” Jawab budak tersebut: “Di atas langit”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi: “Siapa saya?”. Jawab budak tersebut: “Engkau adalah Rasulullah”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Merdekakanlah budak ini karena dia seorang wanita mukminah”.[13]

Dan masih banyak lagi hadit-hadits Rasulullah r yang menerangkan dan menjelaskan sejelas-jelasnya bahwa Allah I mempunyai sifat beristiwa’ di atas ‘Arsy-Nya yang tidak mungkin kami tuliskan seluruhnya. Bersambung ke bag. 2


[1] Lisanul Arob, Ibnu Mandzur, Juz 15, hal. 83. Maktabah Syamilah.

[2] Al-Intishor Syarh Aqidah Aimmatil Amsor, Abu Zur’ah Ar-Rozi dan Abu Hatim Ar-Rozi. Syarh: Muhammad bin Musa alu Nashr, hal. 169.

[3] Ibid, hal. 170

[4] Shohih Al-Bukhari, Fathul Bari, Ibnu Hajar, Juz 13, hal. 403.

[5] Al-Intishor, hal. 170.

[6] Hal ini sebagaimana yang telah dishahihkan oleh Ibnu Abbas. Lihat Mukhtasor Al-‘Uluw lil ‘Aliyyil ‘Adzim, Nasirudin Albani, hal. 102.

[7] Lihat Tafsir Ruhul Ma’ani, Imam Al-Alusi, juz. 7, hal. 114, Maktabah Syamilah.

[8] Al-Intishor Syarh Aqidah Aimmatil Amsor, Abu Zur’ah Ar-Rozi dan Abu Hatim Ar-Rozi. Syarh: Muhammad bin Musa alu Nashr, yang disebut juga dengan kitab, Qurrotul ‘Ainaini bi Syarhi ar-Roziyaini.

[9] HR. Bukhari 7422 dan Muslim 2751

[10] HR. Bukhari 4351 dan Muslim 1064

[11] HR. Muslim 1218

[12] HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra, dishahihkan Al-Albani dalam Mukhtasharul ‘Uluw

[13] Ibnu Hajar berkarta tentang hadits ini, “Hadits shahih, diriwayatkan Muslim”. Fathul Bari (13/359)

2 Responses to “Penetapan Shifat ‘Uluw Dan Istiwa’ Allah Ta’ala”

  1. […] di/pada 13 Juli 2010 Setelah kita memahami tentang Istiwa’ dan dalil-dalilnya pada bagian ke-1 dan ke-2, maka pada bagian yang ke-3 ini kita akan mengetahui beberapa pikiran yang menyimpang dari […]

  2. […] oleh Fayyadh Albandy di/pada 13 Juli 2010 Pada bagian pertama dahulu telah kami tuliskan definisi, serta dalil-dalil tentang istiwa’. Pada bagian yang ke […]

Leave a comment